"Mana yang nakal, Mejanya ya?" Suara seorang Ayah lantang sambil menghampiri balita yang tengah menangis sebab terjatuh di dekat meja. Tidak lama kemudian terdengar suara Ayah memukul meja, "buk..buk..", lalu si Ayahpun mengatakan dengan bangga... "Udah...udah ayah pukul mejanya, cup cup yaa..jangan nangis lagi".
Apa Kamu familiar dengan peristiwa tersebut? alias Kamu sempat melakukannya? Sebetulnya ini adalah kebiasaan yang kurang baik sebab bisa menghapus rasa bertanggungjawab anak di kemudian hari. Akibatnya, kelak Orangtua bakal kesusahan mengatur perilaku anak, bagaimana tutorial yang cocok dan apa lagi ya kebiasaan yang kurang baik bagi tumbuh kembang anak? Sebaiknya Kamu membaca postingan ini dengan cara lengkap.
1. Mengalihkan Tanggung Jawab
Ilustrasi Ayah memukul meja di atas adalah kebiasaan pengalihan tanggungjawab. Kebiasaan ini tampaknya lazim dilakukan. Niat Ayah sih baik, supaya anak berhenti menangis, tapi si Ayah telah salah menempatkan perasaan.
Sebagai orang dewasa, kami sangat tidak ingin dianggap salah oleh orang lain. Maka, dengan cara tidak sadar, si Ayahpun menyalahkan meja, kursi, lantai, alias apapun, asal bukan anaknya. Padahal si anak jatuh sebab tubuhnya terbukti sedang belajar untuk menyeimbangkan diri. Dengan cara psikologis, faktor ini adalah proses penumpulan logika anak sekaligus melatihnya untuk tidak bertanggungjawab.
Akibatnya di waktu dewasa, di dunia kerja anak susah mengidentifikasi sebab akibat, akhirnya ia tidak bisa memberbagi solusi yang jitu bagi problem perusahaan. Persoalan A, Solusinya malah Z. Tidak hanya itu, ia juga cenderung menyalahkan orang lain atas kegagalannya, bahkan..menyalahkan kami sebagai orangtuanya.
Saat anak terjatuh adalah peristiwa emas untuk menyadari bahwa ada sebab ada akibat, sekaligus membangun daya juang dan rasa tanggungjawabnya.
Yang Lebih Baik Dilakukan
Saat anak terjatuh lalu menangis, kami wajib mengajarinya bangkit. Bahkan saat kami tidak mengatakan apa apa pun, anak bakal berusaha bangkit sendiri. Terkadang tangisan anak malah terjadi sebab orangtua terlalu overacting. Sesekali, diam saja dan berbagi anggukan senyum alias berbagi tangan Ayah dan Ibu untuk menolongnya bangkit. Bila merasa butuh penekanan, maka Ayah dan Ibu bisa katakan kepadanya untuk berhati-hati dan bermain lagi.
Bila ia terluka, lumayan peluk untuk menghentikan tangisannya dan ajak dirinya untuk mengobati lukanya. Tindakan-tindakan ini lebih ekonomis kata-kata, lebih ekonomis tenaga, tapi lebih manjur untuk membentuk prilaku positif.
2. Membohongi Anak
Berbohong pada Anak
Saat kecil, anak-anak rutin mendengarkan apa yang kami katakan. Bakal tetap terus besar, kok anak makin susah dinasihati? makin enggan menurut, alias malah melawan. Apa anak-anak telah tidak mempercayai kami lagi?
Jawabannnya mungkin IYA! Coba tengok ke belakang, apakah kami sempat melakukan kebohongan-kebohongan kecil?
Coba simak kisah ini. Mikaela berumur 1,5 tahun. Setiap ayahnya pergi kerja, ia rutin menangis meraung-raung. sebuahhari Mikaela tertidur ketika saatnya ayahnya pergi kerja. Nyatanya, Mikaela sama sekali tidak menangis. Sejak itu, Ayahnya rutin mengendap-endap saat pergi kerja jadi Mikaela tidak menyadarinya. Alias untuk membujuk Mikaela, Ayah mengatakan bahwa Ayah hanya pergi sebentar saja, padahal nyatanya pulangnya malam sekali.
Contoh lain adalah memakai ancaman yang bohong. Umpama saat Dodi tidak mau makan, ibupun mengancam Dodi, "kalau nggak mau makan, kelak nggak boleh main perosotan". Padahal akhirnya boleh juga, lagipula, tidak ada hubungan antara makan dan main perosotan, kan?
Anda familiar dengan kebiasaan tersebut? bila iya, mungkin inilah awal ketidak percayaan anak terhadap orang tuanya. Anak tidak lagi percaya dengan apa yang kami katakan, bahkan anak kehilangan rasa amannya bakal janji-janji yang kami ucapkan
Yang sebaiknya dilakukan
Jujur dan proporsional dalam berkomunikasi dengan anak. Ungkapkan dengan penuh kasih sayang. Saat pergi ke kantor, hinggakan apa yang sebenernya dengan kata-kata yang mudah ia pahami umpama seperti
"Ella, Papa mau pergi ke kantor dulu ya, kelak sore habie Ella mandi, Papa bakal pulang kami bisa main lagi sama sama"
Mungkin anak tetap menangis, tapi lama kelamaan dirinya belajar bahwa Papa terbukti bakal tetap pergi, tapi sore kelak pasti datang. Ini menciptakan rasa aman dalam dirinya.
3. Mengobral Ancaman dan Omelan
"Raka, awas jangan naik tinggi-tinggi, kelak jatuh loh!"
"Awas jangan maen di lapangan, kelak diculik!"
"Ayo dimakan dong makan siangnya, kelak Ayah/Bunda marah kalau nggak makan!"
"Jangan bandel, kelak dipenjara pak polisi!"
Mengancam Anak
Saat kami putus asa seusai beberapa tutorial tidak dituruti anak, ancaman tidak jarangkali menjadi pilihan tindakan. Bedakan antara ancaman dan konsekuensi.
Apabila kami memberi taunya dengan nada tinggi, tidak merubah posisi tubuh kita, apalagi dengan menunjuk-nunjuk anak, kami tengah mengancam anak. Tidak hanya itu, ancaman biasanya tidaklah dibuktikan. Hanya untuk menakut-nakuti saja. Apalagi kalau mengancam dengan memakai institusi tertentu yang sewajibnya menjaga keamanan, semisal polisi. Padahal, justru anak wajib menghampiri polisi saat ketakutan, bukan sebaliknya.
Apabila kami merubah posisi jadi mata kami bisa bertatapan dengan mata anak, merubah intonasi jadi datar tetapi tegas, lalu konsekuensi benar-benar kami jalankan terhadap anak, maka kami tengan membikin sebuat konsekuensi.
Anak benar-benar cerdas, ia mendalami pola tingkah laku kita. Sekali dua kali ia temukan kami mengancam dengan ancaman kosong, maka ia belajar bahwa ancaman orangtua tidaklah serius. Tidak hanya itu, anak yang biasa diancam biasanya tumbuh jadi anak yang tidak merasa aman. Anak bisa tumbuh jadi anak yang tidak PD alias sebaliknya, anak yang suka mengganggu dan mengancam orang lain.
Yang sebaiknya dilakukan
Saat anak melakukan kesalahan serius, coba berhenti dari aktivitas kita, lalu minta anak untuk datang. Bicara dengan tegas tetapi tetap lembut, jelaskan perasaan kami dan tunjukkan prilaku anak yang mana yang wajib diperbaiki dan sepakati konsekuensi yang bakal didapat apabila anak mengulangi prilaku negatif itu lagi, contohnya.
"Nina, Ibu khawatir kalau Nina main terlalu jauh. Kalau mau main agak jauh, ijin dulu ke Ibu ya supaya kelak Ibu kawani"
4. Menyerang Pribadi Anak, Bukan Prilakunya
Bicara cocok sasaran
Kerapkali saat kami sedang capek-capeknya, kami mengomel tidak karuan jadi apa yang kami bicarakan hanya hardikan demi hardikan. Kami tidak bisa memberi tau Video Youtube dengan jelas prilaku apa cocoknya yang tidak kami inginkan dari anak, umpama.
"Duuuh....kamu kok begitu sih! Mami sebel kamu begitu lagi begitu lagi". Faktor yang sebetulnya terjadi adalah anak pulang main terlalu sore jadi ia telat mandi alias mengerjakan sesuatu.
Atau saat kami mengatakan "Ihh..kamu ini anak malas! maen melulu!"
Kalau faktor ini dibiasakan, maka anak bisa-bisa merasa bahwa SEMUA yang dilakukannya salah, dan SEMUA yang dilakukan bakal membikin kamu kesal. Akibatnya, anak merasa dirinya bukan anak yang baik jadi dirinya sekalian saja melakukan faktor hal yang tidak benar jadi Kamu menjadi kesal.
Yang Sebaiknya Dilakukan
Anak bukanlah peramal yang bisa dengan cocok memperkirakan apa yang kami inginkan. Sebaiknya gunakan kalimat yang spesifik pada prilaku yang tidak lebih cocok dan fokus membenahi di sana. Misalya,
"Riana, sewajibnya Riana telah pulang sebelum jam 5 Sore. Kalau Riana telat pulang, kamu bisa telat mandi dan mengerjakan PR, Riana mengerti, kan?"
Jangan pula membiarkan diri kami larut dalam amarah, apabila anak telah menunjukkan gelagat bakal membenahi sikap, kendalikan diri dan terima dirinya kembali. Ini menegaskan bahwa yang Kamu tidak suka adalah prilakunya dan bukan pribadinya.
5. Memberi Dukungan pada Faktor yang Salah
Menurut penelitian otak, otak kami terbukti lebih memperhatikan hal-hal yang negatif. Demikian pula yang terjadi dalam dunia orang tua dan anak. Kerapkali kami lebih berminat untuk memperhatikan anak, justru saat mereka berbuat faktor yang tidak lebih baik.
Umpama, saat anak bertengkar, baru kami beranjak dari gadget kita. Alias saat anak merusak sesuatu, barulah kami memperhatikannya, menasihati bahkan mengomeli. Sedangkan sebaliknya saat anak menunjukkan prilaku yang baik kami malah biasa-biasa saja.
Anak bisa jadi berpikir bahwa untuk memperoleh perhatian kita, mereka butuh berbuat sesuatu yang tidak baik! Nah, susah kan kalau begini...
Yang Sebaiknya dilakukan
Beri apresiasi saat mereka berprilaku baik, umpama saat bermain dengan rukun, alias mereka mau share, alias hal-hal sederhana seperti saat anak meletakkan handuk pada tempatnya, umpama.
Ungkapkan perasaa kamu seperti :
"Bunda bahagia lihat Ade bisa meletakkan handuk di tempatnya sehabis mandi!"
Anak kamu pasti bahagia dan bakal mengulanginya lagi
6. Merendahkan Diri Sendiri/Merendahkan Pasangan
Apa yang kamu lakukan kalau melihat anak kamu bermain Playstation lebih dari belajar? Mungkin yang tidak jarang kami ucapkan pada mereka, “Woy… mati in tuh PS nya, ntar dimarahin loh sama papa kalo pulang kerja!” Alias kami ungkapkan dengan pernyataan lain, tetapi tetap dengan figur yang mungkin ditakuti oleh anak pada saat itu. Contoh pernyataan ancaman diatas adalah ketika yang ditakuti adalah figur Papa.
Perhatikanlah kalimat ancaman tersebut. Kami tidak sadar bahwa kami telah mengajarkan pada anak bahwa yang sanggup untuk menghentikan mereka maen ps adalah bapaknya, artinya figure yang hanya ditakuti adalah sang bapak. Maka jangan heran kalau apabila anak tidak mengindahkan perkataan kami sebab kami tidak sanggup menghentikan mereka maen ps.
Apa yang sebaiknya kami lakukan?
Siapkanlah aturan main sebelum kami bicara; seusai siap, dekati anak, tatap matanya, dan katakan dengan nada serius bahwa kami ingin ia berhenti main sekarang alias berbagi opsi, misal “Sayang, Papa/Mama ingin kamu mandi. Kamu mau mandi sekarang alias lima menit lagi?” bila jawabannya “lima menit lagi Pa/Ma”. Kami jawab kembali, “Baik, kami sepakat seusai lima menit kamu mandi ya. Tapi apabila tidak berhenti seusai lima menit, dengan terpaksa papa/mama bakal simpan PS nya di lemari hingga lusa”. Nah, persis seusai lima menit, dekati si anak, tatap matanya dan katakan telah lima menit, tanpa tawar menawar alias kompromi lagi. Apabila sang anak tidak nurut, segera laksanakan konsekuensinya.
7. Papa dan Mami Tidak Kompak
Mendidik adalah bukan hanya tanggung jawab para ibu alias bapak saja, tapi keduanya. Orang tua wajib mempunyai kata sepakat dalam mendidik anak2nya. Anak bisa dengan mudah meringkus rasa yang membahagiakan dan tidak membahagiakan bagi dirinya. Misal, seorang Ibu melarang anaknya melihat TV dan memintanya untuk mengerjakan PR, tetapi pada saat yang bersamaan, si bapak membela si anak dengan dalih tidak mengapa nonton TV terus supaya anak tidak stress.
Apabila faktor ini terjadi, anak bakal menilai ibunya jahat dan bapaknya baik, akibatnya setiap kali ibunya memberi perintah, ia bakal mulai melawan dengan berlindung di balik pembelaan bapaknya. Demikian juga pada permasalahan sebaliknya. Oleh sebab itu, orang tua wajib kompak dalam mendidik anak. Di hadapan anak, jangan hingga tidak sama pendapat untuk hal2 yang berhubungan langsung dengan persoalan mendidik anak. Pada saat salah satu dari kami sedang mendidik anak, maka pasangan kami wajib mendukungnya. Contoh, ketika si Ibu mendidik anaknya untuk berlaku baik terhadap si Kakak, dan si Ayah mengatakan ,”Kakak juga sih yang mulai duluan buat gara2…”. Idealnya, si Ayah mendukung pernyataan, “Betul kata Mama, Dik. Kakak juga butuh kamu sayang dan hormati….”
8. Campur Tangan Kakek, Nenek, Tante, alias Pihak Lain
Pada saat kami sebagai orang tua telah berusaha untuk kompak dan sepaham satu sama lain dalam mendidik anak-anak kita, tiba-tiba ada pihak ke-3 yang timbul dan cenderung membela si anak. Pihak ke-3 yang dimaksud seperti kakek, nenek, om, tante, alias pihak lain di luar keluarga inti.
Seperti pada kebiasaan ke-7 (Papa dan Mami tidak Kompak), akibat ke anak tetap negatif bila dalam satu rumah tersedia pihak di luar keluarga inti yang ikut mendidik pada saat keluarga inti mendidik; Anak bakal cenderung berlindung di balik orang yang membelanya. Anak juga cenderung melawan orang tuanya.
Apa yang sebaiknya kami lakukan?
Pastikan dan yakinkan terhadap siapa pun yang tinggal di rumah kami untuk mempunyai kesepakatan dalam mendidik dan tidak ikut campur pada saat proses pendidikan sedang dilakukan oleh kami sebagai orang tua si anak. Berbagi arti sedemikian rupa dengan bahasa yang bisa diterima dengan baik oleh para pihak ke-3.
9. Menakuti Anak
Kebiasaan ini lazim dilakukan oleh para orang tua pada saat anak menangis dan berusaha untuk menenangkannya. Kami juga terbiasa mengancam anak untuk mengalihkan perhatiannya, “Awas ada Pak Satpam, ga boleh beli mainan itu!” Hasilnya terbukti anak tidak jarang kali berhenti merengek alias menangis, tetapi dengan cara tidak sadar kami telah menanamkan rasa takut alias benci pada institusi alias pihak yang kami sebutkan.
Sebaiknya, mengatakanlah jujur dan berbagi arti pada anak seperti kami memberi arti terhadap orang dewasa sebab sesungguhnya anak2 juga sanggup berpikir dewasa. Apabila anak tetap memaksa, katakanlah dengan penuh arti dan tataplah matanya, “Kamu boleh menangis, tapi Papa/Mama tetap tidak bakal membelikan permen.” Biarkan anak kami yang memaksa tadi menangis hingga diam dengan sendirinya.
10. Ucapan dan Perbuatan Tidak Sesuai
Berlaku konsisten mutlak diperlukan dalam mendidk anak. Konsisten adalah kesesuaian antara yang dinyatakan dan tidakan. Anak mempunyai ingatan yang tajam terhadap sebuahjanji, dan ia sanga menghormati orang-orang yang menepati janji baik untuk beri hadiah alias janji untuk memberi sanksi. So, jangan sempat mengumbar janji ada anak dengan tujuan untuk merayunya, supaya ia mengikuti permintaan kami seperti segera mandi, rutin belajar, tidak melihat televisi.
Pikirlah terlebih dahulu sebelum berjanji apakah kami benar-benar bisa memenuhi janji tersebut. Apabila ada janji yang tidak bisa terpenuhi segeralah minta maaf, berbagi argumen yang jujur dan minta dirinya untuk menentukan apa yang kami bisa lakukan bersama anak untuk mengganti janji itu.
11. Hadiah untuk Perilaku Kurang baik Anak
Acapkali kami tidak konsisten dengan pernyataan yang sempat kami nyatakan. Bila faktor ini terjadi, tanpa kami sadari kami telah mengajari anak untuk melawan kita. Contoh klasik dan tidak jarang terjadi adalah pada saat kami bersama anak di tempat umum, anak merengek meminta sesuatu dan rengekennya menjadi teriakan dan ada gerak perlawanan. Anak terus mencari akal supaya keinginnanya dikabulkan, bahkan tidak jarangkali membikin kami sebagai orang tua malu. Pada saat inilah kami tidak jarangkali luluh sebab tidak sabar lagi dengan rengekan anak kita. Akhirnya kami mengiyakan keinginan si Anak. “Ya telah;kamu ambil satu permennya. Satu saja ya!”
Pernyataan tersebut adalah sebagai hadiah bagi perilaku kurang baik si Anak. Anak bakal mempelajarinya dna menerapkannya pada peluang lain bahkan mungkin dengan tutorial yang lebih heboh lagi.
Menghadapi kondisi seperti ini, tetaplah konsisten; tidak butuh malu alias takut dikatakan sebagai orang tua yang kikir alias tega. Orang beefikir demikian belum membaca buku mengenai ini dan mengalami persoalan yang sama dengan kita. Ingatlah rutin bahwa kami sedang mendidik anak, Sekali kite konsisten anak tidak bakal sempat mencobanya lagi. Tetaplah KONSISTEN dan pantang menyerah! Apapun alasannya, jangang sempat memberi hadiah pada perilaku kurang baik si anak.
12. Merasa Bersalah Sebab Tidak Bisa Memberbagi yang Paling baik
Kenasiban metropolitan telah memaksa sebagian besar orang tua tidak sedikit menghabiskan waktu di kantor dan di jalan raya daripada bersama anak. Terbatasnya waktu inilah yang menyebabkan tidak sedikit orang tua merasa bersalah atas situasi ini. Akibat dari perasaan bersalah ini, kita, para orang tua menyetujui perilaku kurang baik anaknya dengan ungkapan yang tidak jarang dilontarkan, “Biarlah dirinya seperti ini mungkin sebab saya juga yang jarang berjumpa dengannya…”
Terus kami merasa bersalah terhadap keadaan, terus tidak sedikit kami menyamai perilaku kurang baik anak kita. Terus kami memaklumi perilaku kurang baik yang dilakukan anak, bakal terus tidak jarang ia melakukannya. Sebagian besar perilaku anak berpersoalan yang sempat saya (penulis) hadapi tidak sedikit bersumber dari tutorial berpikir orang tuanya yang seperti ini.
Apa yang sebaiknya kami lakukan?
Apa pun yang bisa kami berbagi dengan cara benar pada anak kami adalah faktor yang paling baik. Kami tidak bisa membandingkan kondisi sosial ekonomi dan waktu kami dengan orang lain. Tiap keluarga mempunyai persoalan yang unik, tidak sama. Ada orang yang punya kelebihan pada sapek finansial tapi miskin waktu berjumpa dengan anak, dan sebaliknya. Jangan sempat memaklumi faktor yang tidak baik. Lakukanlah pendekatan nilai apabila kami hanya punya sedikit waktu; gunakan waktu yang minim itu untuk bisa share rasa sepenuhnya antara sisa2 tenaga kita, terbukti tidak mudah. Tapi lakukanlah demi mereka dan keluarga kita, anak bakal terbiasa.
13. Mudah menyerah dan pasrah
Setiap manusia mempunyai watak yang tidak sama-beda, ada yang lembut dan ada yang keras. Dominan flegmatis adalah ciri atak yang dimiliki oleh sebagian orang tua yang tidak lebih tegas, mudah menyerah, rutin takut salah dan cenderung mengalah, pasrah. Konflik ini biasanya terjadi bila seorang yang flegmatis mempunyai anak yang berwatak keras.
Dalam kondisi kami sebagai orang tua yang tidak tegas dan mudah menyerah, si anak justru keras dan lebih tegas. Akibatnya dalam tidak sedikit hal, si anak jauh lebih dominan dan mengatur orang tuanya. Akibat lebih lanjut, orang tua susah mengendalikan perilaku anaknya dan cenderung pasrah. Saya [penulis] tidak jarang mendengar ucapan dari para orang tua yang Dominan Flegmatis, “Duh… anak saya itu terbukti keras betul… saya telah nggak sanggup lagi mengaturnya.” Alias “Biar sajalah apa maunya, saya telah nggak sanggup lagi mendidiknya.”.
Apa yang sebaiknya kami lakukan?
Belajarlah dan berusahalah dengan keras untuk menjadi lebih tegas dalam mengambil keputusan, tingkatkan watak keteguhan hati dan pantang menyerah. Jiak butuh ambil orang orang yang kami anggap tegas untuk jadi penasehat harian kita.
14. Marah Yang Berlebihan
Kita tidak jarangkali menyamakan antara mendidik dengan memarahi. Butuh untuk rutin diingat, memarahi adalah salah satu tutorial mendidik yang paling kurang baik. Pada saat memarahi anak, kami tidak sedang mendidik mereka, melainkan melampiaskan tumpukan kekesalan kami sebab kami tidak bisa menanggulangi persoalan dengan baik. Marah juga tidak jarangkali hanya berupa upaya untuk melemparkan kesalahan pada pihak lain [dan biasanya yang lebih lemah, kalo ama yang lebih kuat ya takut].
Apa yang sebaiknya kami lakukan?
Jangan sempat bicara pada saat marah! Jadi tahanlah dengan tutorial yang enjoy untuk kami lakukan seperti masuk kamar mandi alias pergi menghindar jadi amarah mereda. Yang butuh dilakukan adalah bicara “tegas” bukan bicara “keras”. Bicara yang tegas adalah dengan nada yang datar, dengan serius dan menatap wajah dan matanya dalam dalam. Bicara tegas adalah bicara pada saat pikiran kami rasional, sedangkan bicara keras adalah pada saat pikiran kami dikuasai emosi.
Satu contoh lagi yang tidak lebih baik, pada saat marah biasanya kami emosi dan mengucapkan/melakukan faktor hal yang kelak kami sesali, seusai ini terjadi, biasanya kami bakal rugi dan berusaha memperbaikinya dengan memberbagi dispensasi alias membolehkan faktor hal yang sebelumnya kami larang. Bila faktor ini berjalan berulang kali, maka anak kami bakal rutin berusaha memancing amarah kita, yang ujung ujungnya si anak menikmati hasilnya. Anak yang tidak jarang dimarahi cenderung tidak jadi lebih baik kok.
15. Gengsi untuk Menyapa
Kita pasti sempat mengalami bahwa kami terlanjur marah besar pada anak, biasanya amarah terbawa lebih dari sehari, akibat dari rasa kesal yang tetap tersisa dan rasa gengsi, kami enggan menyapa anak kita. Masing masing pihak menantikan untuk mengawali kembali hubungan yang normal.
Apa yang wajib kami lakukan supaya komunikasi mencair kembali? Siapa yang sewajibnya mengawali? Kami sebagai orangtua lah yang sewajibnya mengawali saat anak mulai menunjukkan tanda tanda perdamaian dan mengikuti keinginan kita. Dengan tutorial ini kami bisa menunjukkan pada anak bahwa kami tidak suka pada sikap sang anak, bukan pada pribadinya.
16. Memaklumi yang tidak pada tempatnya
Ini biasanya terjadi pada tidak sedikit orang tua konservatif. Umpama melihat anak laki laki yang suka usil, nakal banget dan suka ngacak, orang tuanya cenderung mengatakan, “Yah… anak cowo emang wajib bandel” alias saat melihat kakak adik lagi jambak jambakan, mamanya bilang “maklumlah… namanya juga anak anak”. Alias bahkan ketika si anak memukul kawan alias mbaknya, orang tua tetap juga sempat berkelit dengan mengatakan “ya begitu deh, maklumlah namanya juga anak anak. Nggak sengaja…”
Bila kami rutin memaklumi perbuatan keliru yang dilakukan anak anak, otomatis si anak berpikir perilakunya telah benar, dan bakal jadi sangat kurang baik kalau terbawa hingga ke dewasa.
Apa yang sebaiknya kami lakukan?
Kita tidak butuh memaklumi faktor yang tidak butuh dimaklumi kok, kami wajib mendidik setiap anak tanpa kecuali sesuai dengan sifat dasarnya. Setiap anak bisa dididik dengan tegas[ingat: bukan keras] sejak usia 2 tahun. Terus dini usianya, terus mudah untuk dikelola dan diajak kerja sama. Anak kami bakal mau bekerja sama selagi kami rutin mengajaknya obrolan dari hati ke hati, tegas, dan konsisten. Ingat, tidak butuh menantikan hingga usianya beranjak dewasa, sebab terus bertambah usia, terus tinggi tingkat kesusahan untuk merubah perilaku kurang baiknya.
17. Pemakaian istilah yang tidak jelas maksudnya
Seberapa tidak jarang kami sebagai orang tua mengungkapkan pernyataan seperti “Awas ya, kalau kamu mau diajak sama mama/papa, tidak boleh nakal!” atau, “awas ya, kalau kelak diajak sama mama/papa, jangan bikin malu mama”, bisa juga terungkap, “kalo mau jalan jalan ke taman bermain, jangan macam macam ya”.
Nah, tanpa disadari kami tidak jarangkali memakai istilah istilah yang susah dimengerti ataupun bermakna ganda. Istilah ini bakal membingungkan anak kita. dalam benak mereka bertanya apa yang dimaksud dengan nakal, tingkah laku apa yang tergolong dalam kategori nakal, begitu pula dengan istilah “jangan macam macam”, perilaku apa yang tergolong kategori “macam macam”. Tidak hanya bingung, mereka juga bakal menebak nebak arti dari istilah istilah tersebut.
Apa yang sebaiknya kami lakukan?
Bicaralah dengan jelas dan spesifik, umpama “Sayang, kalau kamu mau ikut mama/papa, tidak boleh minta mainan, permen, dan tidak boleh berteriak teriak di kasir seperti kemarin ya”. Faktor ini penting supaya anak mengenal batasan batasan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, dan jangan lupa menyepakati apa konsekuensinya bila kesepakatan ini dilanggar.
18. Mengharap perubahan instan
Kita terbiasa nasib dalam adat yang serba instant, seperti mie instant, susu instant, teh instant. Jadi kami anak berbuat salah, kami tidak jarang ingin sebuah perubahan yang instant pula, misal ketika biasa telat bangun, nggak selesaiin tempat tidur, susah dimandikan, kami ingin supaya anak kami berubah total dalan jangka waktu sehari.
Apabila kami tidak jarang memaksakan perubahan pada anak kami dalam waku pendek tanpa bagianan yang wajar, kemungkinan besar anak susah memenuhinya. Dan ketika ia gagal dalam memenuhi keinginan kita, ia bakal frustasi dan tidak yakin bisa melakukanannya lagi. Akibatnya ia memilih untuk melakukan perlawanan seperti tidak sedikit bikin alasan, acuh tidak acuh, alias marah marah pada adiknya.
Apa yang sebaiknya kami lakukan?
Apabila kami menginginkan perubahan kebiasaaan pada anak, berbagilah waktu untuk bagianan bagianan perubahan yang rasional untuk bisa dicapainya. Hindari sasaran perubahan yang tidak mungkin bisa dicapainya. Bila mungkin, ajaklah ia untuk melakukan perubahan dari faktor yang paling mudah. Biarkanlah ia memilih faktor yang paling mudah menurutnya untuk diubah. Kesuksesannya untuk melakukan perubahan tersebut memotivasi anak untuk melakukan perubahan lainnya yang lebih susah. Puji dan apabila butuh rayakan kesuksesan yang dicapainya, sekecil dan sesederhana apapun perubahan itu. Faktor ini untuk menunjukkan alangkah seriusnya perhatian kami terhadap usaha yang telah dilakukannya. Pusatkan perhatian dan pujian kami pada usahanya, bukan pada hasilnya.
19. Pendengar yang kurang baik
Sebagian besar orang tua adalah pendengar yang kurang baik bagi anak anaknya. Benarkah? Bila ada sebuahpersoalan yang terjadi pada anak, orang tua lebih suka menyela, langsung menasehati tanpa mau bertanya perpersoalanannya dan asal usul kejadiannya.
Sebagai contoh, anak kami baru saja pulang sekolah yang mestinya pulangnya siang, dirinya datang di sore hari. Kami tidak mendapat keterangan apapun darinya atas ketelatan tersebut. Pasti saja kami kesal menantikan dan sekaligus khawatir. Lalu pada saat anak kami hingga dan tetap lelah, kami langsung menyambutnya dengan serentetan pertanyaan dan omelan. Bahkan setiap kali anak hendak bicara, kami rutin memotongnya. Akibatnya ia amalah tidak mau bicara dan marah pada kita.
Bila kami tidak berusaha mendengarkan mereka, maka mereka pun bakal bersikap seperti itu pada kami dan bakal belajar melalaikan kita.
Apa yang sebaiknya kami lakukan?
Apabila kami tidak menghendaki faktor ini terjadi, maka mulai sekarang jadilah pendengar yang baik. Perhatikan setiap ucapannya. Ajukan pertanyaan pertanyaan untuk menunjukkan keberminatan kami bakal persoalan yang dihadapinya.
20. Rutin menuruti permintaan anak.
Apakah anak kami adalah anak semata wayang? Alias anak laki laki yang ditunggu tunggu dari beberapa anak perempuan kakak-kakaknya? Alias mungkin anak yang telah bertahun tahun ditunggu tunggu? Fenomena ini tidak jarangkali menjadikan orang tua teramat sayang pada anaknya jadi ia menerapkan pola asuh open bar, alias mo apa aja boleh alias dituruti.
Seperti Radja Ketjil, terus hari tuntutannya terus aneh dan kuat, apabila ini telah menjadi kebiasaan bakal susah sekali membendungnya. Anak yang dididik dengan tutorial ini bakal menjadi anak yang super egois, tidak kenal toleransi, dan tidak bisa bersosialisasi.
Apa yang sebaiknya kami lakukan?
Betapapun sayangnya kami pada anak, jangan lah sempat memberlakukan pola asuh seperti ini. Rasa sayang tidak wajib di tunjukkan dengan menuruti segala kemauannya. Apabila kami benar sayang, maka kami wajib mengajarinya mengenai nilai baik dan kurang baik, yang benar dan yang salah, yang boleh dan yang nggak. Apabila tidak, rasa sayang kami bakal membikin membikinnya jadi anak yang egois dan ‘semau gue’. Inilah yang dalam bahasa awam tidak jarang disebut anak manja.
21. Terlalu Tidak sedikit Larangan
Ini adalah kebalikan dari kebiasaan di atas. Bila Kami tergolong orang tua yang berkombinasi Melankolis dan Koleris, kami mesti berhati2 sebab biasanya kombinasi ini menghasilkan tipe orang tua yang “Perfectionist”. Orang tua tipe ini cenderung ingin menjadikan anak kami seperti apa yang kami inginkan dengan cara SEMPURNA, kami cenderung membentuk anak kami sesuai dengan keinginan kita; anak kami wajib begini tidak boleh begitu; dilarang melakukan ini dan itu.
Pada saatnya anak tidak tahan lagi dengan tutorial kita. Ia pun bakal melakukan perlawanan, baik dengan tutorial menyakiti diri (apabila anak kami tipe sensitive) alias dengan perlawanan tersembunyi (apabila anak kami tipe keras) alias dengan perang terbuka (apabila anak kami tipe ekspresif keras). Oleh sebab itu, tidak lebihilah sifat perfeksionis kita, Berilah izin terhadap anak untuk melakukan tidak sedikit faktor yang baik dan positif. Berlatihlah untuk rutin berdialog supaya kami bisa melihat dan memahami aspek pandang orang lain. Bangunlah situasi saling mempercayai antara anak dan kita. Tidak lebihilah jumlah larangan yang berlebihan dengan meminta pertimbangan pada pasangan kita. Gunakan kesepakatan2 untuk memberbagi batas yang lebih baik. Misal, kamu boleh keluar tapi jam 9 malam wajib telah tiba di rumah. Apabila kemungkinan pulang telat, segera beri tahu Papa/Mama.
22. Terlalu Cepat Menyimpulkan
Ini adalah gejala lanjutan apabila kami sebagai orang tua yang mempunyai kebiasaan menjadi pendengar yang kurang baik. Kami cenderung memotong pembicaraan pada saat anak kami sedang memberi penjelasan, dan segera menentukan kesimpulan akhir yang biasanya cenderung memojokkan anak kita. Padahal kesimpulan kami belum pasti benar, dan bahan seandainya benar, tutorial seperti ini bakal menyakitkan hati anak kita.
Seperti contoh anak yang pulang telat. Pada saat anak kami pulag telat dan hendak membahas penyebabnya, kami memotong pembicaraannya dengan ungkapan, “Telah! Nggak pake tidak sedikit alesan.” Alias “Ah, Papa/Mama tahu, kamu pasti maen ke tempat itu lagi kan?!”.
Apabila kami emlakukan kebiasaan ini terus menerus, anak bakal berpikir kami adalah orang tua ST 001 [alias Sok Tau Nomor Satu], yang tidak mau memahami kondisi dan menyebalkan. Lalu mereka tidak mau bercerita alias berkata lagi, dan akibat selanjutnya sang anak bakal benar benar melakukan faktor hal yang kami tuduhkan padanya. Ia tidak mau mendengarkan nasehat kami lagi, dan pada bagianan terkurang baik, dirinya bakal pergi pada saat kami sedang berkata padanya. Pernahkah kamu mengalami faktor ini?
Apa yang sebaiknya kami lakukan?
Jangan sempat memotong pembicaraan dan mengambil kesimpulan terlalu dini. Tidak seorang pun yang suka bila pembicaraannya dipotong, apalagi ceritanya disimpulkan oleh orang lain.
Dengarkan, dengarkan, dan dengarkan sambil memberbagi tasumsi positif dan antusias. Ada saatnya kami bakal diminta bicara, pastinya seusai anak kami berakhir dengan ceritanya. Bila anak telah membuka pertanyaan, “menurut Papa/Mama bagaimana?” artinya ia telah siap untuk mendengarkan penuturan alias komentar kita.
23. Mengungkit kesalahan masa lalu
Kebiasan menjadi pendengar yang kurang baik dan terlalu cepat menyimpulkan bakal dilanjutkan dengan penutup yang tidak kalah menyakitkan hati anak kita, yakni dengan mengungkit ungkit catatan kesalahan yang sempat dibangun anak kita. Contohnya, “Tuh kan Papa/Mama bilang apa? Kamu tidak sempat mau dengerin sih, sekarang kejadian kan. Makanya dengerin kalau orang tua ngomong. Dasar kamu emang anak bodo sih.”
Kiat berharap dengan mengungkit kejadian masa lalu, anak bakal belajar dari persoalan. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya, ia bakal sakit hati dan berusaha mengulangi kesalahannya sebagai perbuatan balasan dari sakit hatinya.
Apa yang sebaiknya kami lakukan?
Apabila kami tidak ingin anak berperilaku kurang baik lagi, jangan lah diungkit ungkit masa lalunya. Lumayan dengan tatapan mata, apabila butuh rangkullah ia. Ikutlah berempati hingga dirinya mengakui kesalahan dan kekeliruannya. Ucapkan pernyataan seperti “manusia itu tempatnya salah dan lupa, semoga ini menjadi pelajaran berharga buat kamu”, alias “Papa/mama bangga kamu bisa menemukan hikmah positif dari kejadian ini”. Apabila ini yang kami lakukan, maka selanjutnya dirinya bakal lebih mendengar nasehat kita. Coba dan buktikanlah!.
24. Suka Membandingkan
Hal yang paling menyebalkan adalah saat kami dibandingkan dengan orang lain. Bila kami sedang berada di sebuahacara dan berjumpa dengan orang yang berpakaian hampir sama alias berwarna sama, kami merasa tidak enjoy untuk berdekatan. Apalagi jiak disbanding bandingkan [FTR, saya tidak merasa seperti ini lho!]
Secara psikologis, kami sangat tdiak suka bila kehadiran kami baik dengan cara fisik alias sifat sifat kami dibandingkan dengan orang lain. Coba ingat ingatlah pengalaman kami saat ada orang yang membandingkan kita, bagaimana perasaan kami saat itu?
Tetapi anehnya, tidak sedikit orang tua entah kenapa justru tidak jarang melakukan faktor ini pada anaknya. Misal membandingkan anak yang malas dengan yang rajin. Anak yang rapi dengan yang gedabrus. Anak yang cekatan dengan anak yang lamban. Khususnya juga anak yang mendapat nilai tinggi di sekolah dengan anak yang nilainya rendah. Ungkapan yang tidak jarang terdengar biasanya seperti, “Coba kamu mau rajin belajar kayak adik mu, maka pasti nilai kamu tidak seperti ini!”.
Apabila kami tetap melakukan kebiasaan ini, maka ada beberapa akibat yang langsung kami rasakan; anak kami makin tidak menukai kita. anak yang dibandingkan bakal iri dan dengki dengan si pembanding. Anak pembanding bakal merasa sombong dan tinggi hati.
Apa yang sebaiknya kami lakukan?
Tiap manusia terlahir dengan karakter dan sifat yang unik. Maka jangan sekali kali membandingkan satu dengan yang lainnya. Catatlah perubahan perilaku masing masing anak. Apabila ingin membandingkan, bandingkanlah dengan perilaku mereka di masa lalu, ataupun dengan nilai nilai ideal yang ingin mereka capai. Umpama, “Eh, biasanya anak papa/mama suka merapikan tempat tidur, kenapa kali ini nggak ya?”
25. Paling benar dan paling tahu segalanya
Egosentris adalah masa alami yang terjadi pada anak usia 1-3 tahun. Usia tersebut adalah masa ketika anak merasa paling benar dan memaksakan kehendaknya. Tapi entah mengapa nyatanya sifat ini terbawa dan tetap tidak sedikit dimiliki oleh para orang tua. Contoh ungkapan orang tua, “ah kamu ini anak aroma kencur, tau apa kamu soal nasib.” Atau, “kamu tau nggak, kalo papa/mama ini telah tidak sedikit makan asam garam kenasiban, jadi nggak pake kamu nasehatin papa/mama!”.
Apabila kami mempunyai kebiasaan seperti ini, maka kami membikin proses komunikasi dengan anak mengalami jalan buntu. Meskipun maksud kami adalah untuk menunjukkan superioritas kami di depan anak, tapi yang ditangkap anak adalah seperti kesombongan yang menarik, dan pasti saja tidak seorang pun mau mendengarkan nasehat orang yang sombong.
Apa yang sewajibnya kami lakukan?
Tidak jarangkali usia dijadikan acuan mengenai tidak sedikitnya pengetahuan juga tidak sedikitnya pengalaman. Pada zaman dulu faktor ini bisa jadi benar, tetapi untuk saat ini, kondisi itu tidak berlaku lagi. Siapa yang lebih tidak sedikit memperoleh info dan mengikuti kegiatan kegiatan, maka dialah yang lebih tidak sedikit tahu dan berpengalaman.
Jadi janganlah merasa menjadi orang yang paling tahu, paling hebat, paling alim. Dengarkanlah setiap masukan yang datang dari anak kita.
26. Saling melempar tanggung jawab
Mendidik anak khususnya menjadi tanggung jawab orang tua, yaitu ayah dan ibu. Bila kedua belah pihak merasa tidak lebih bertanggung jawab, maka proses pendidikan anak bakal terasa timpang dan jauh dari sukses. Celakanya lagi, bila orang tua telah mulai merasakan akibat perlawanan dari anak anaknya, yang tidak jarang terjadi malah saling menyalahkan satu sama lain.
Pernyataan yang kerap timbul adalah, “kamu emang nggak becus ngedidik anak”, dan kemudian dibalas “enak aja lo ngomong begitu, nah kamu sendiri, selagi ini kemana aja?!”. Apabila tutorial ini yang dipertahankan di keluarga, akankah menyelesaikan persoalan? Tunggu saja hasilnya, pasti orang tua lah yang bakal menuai hasilnya, sang anak bakal merasa perilaku kurang baiknya adalah bukan sebab kesalahannya, tapi sebab ketidak becusan salah satu dari orang tuanya. Jelas anak kami bakal merasa terbela dan terus berperilaku kurang baik.
Apa yang sewajibnya kami lakukan?
Hentikan saling menyalahkan. Ambillah tanggung jawab kami selaku orang tua dengan cara berimbang.kesuksesan pendidikan ada di tangan orang tua. Pendidikan adalah kerja sama tim, da bukan individu. Jangan pakai argumen tidak ada waktu, semua orang sama sama mempunyai waktu 24 jam sehari, jadi aturlah waktu kami dengan beberapa macam tutorial dan kompaklah rutin dengan pasangan kita.
Rutin lakukan introspeksi diri sebelum introspeksi orang lain.
27. Kakak wajib rutin mengalah
Di negeri ini tersedia kebiasaan bahwa anak yang lebih tua wajib rutin mengalah pada saudaranya yang lebih muda. Tampaknya faktor itu telah menjadi budaya. Tapi sebetulnya, adakah dasar logikanya dan dimana prinsip keadilannya?
Ada satu contoh nyata seperti berikut:
Ada seorang kakak beradik, kakak bernama Dita dan adik bernama Rafiq. Neneknya selaku pengasuh mutlak rutin memarahi Dita ketika Rafiq menangis. Tanpa mengenal duduk persoalan dan siapa yang salah dan benar, si Nenek rutin membela si adik dan melimpahkan kesalahan pada kakaknya. “Kamu ini gimana sih? Telah besar kok tidak mau mengalah ama adiknya.” Begitulah ucapan yang keluar dari mulut si Nenek. Terkadang dibumbui dengan cubitan pada kakaknya.
Apa yang terjadi selanjutnya? Dita menjadi anak yang tidak mempunyai rasa percaya diri. Ia pun mulai membenci adiknya. Lama kelamaan Dita mulai tidak sedikit melawan atas ketidak adilan ini, dan yang terjadi kemudian adalah kedua bersaudara ini makin tidak jarang bertengkar. Sementara Rafiq yang rutin dibela bela menjadi makin egois dan makin berani menyakiti kakaknya, rutin merasa benar dan memberaontak. Sang nenek perlahan lahan menobatkan Radja Ketjil yang lalim di tengah keluarga ini.
Apa yang sewajibnya kami lakukan?
Anak wajib diajari untuk memahami nilai benar dan salah atas lakukanannya terlepas dari apakah dirinya lebih muda alias lebih tua. Nilai benar dan salah tidak mengenal konteks usia. Benar rutin benar dan salah rutin salah berapapun usia pelakunya.
Berlakulah adil. Ketahuilah info dengan cara lengkap sebelum mengambil keputusan. Jelaskan nilai benar dan salah pada masing masing anak, buat aturan main yang jelas yang mudah dipahami oleh anak anak anda.
28. Menghukum dengan cara fisik
Dalam kondisi emosi, kami cenderung sensitif oleh perilaku anak, dimulai dengan suara keras, dan kemudian meningkat menjadi perbuatan fisik yang menyakiti anak.
Apabila kami terbiasa dengan kondisi ini, kami telah mendidiknya menjadi anak yang kejam dan trengginas, suka menyakiti orang lain dan membangkang dengan cara destruktif. Perhatikan apabila mereka berteman dengan kawan sebayanya. Percaya alias tidak, anak bakal meniru perbuatan kami yang suka memukul. Anak yang suka memukul kawannya pada umumnya adalah anak yang tidak jarang dipukuli di rumahnya.
Apa yang sebaiknya kami lakukan?
Jangan sempat sekalipun memakai hukuman fisik terhadap anak, mencubit, memukul, alias menampar bahkan ada juga yang pakai alat seperti cambuk, sabuk, rotan, alias sabetan.
Gunakanlah kata kata dan dialog, dan apabila tutorial obrolan tidak sukses maka cobalah evaluasi diri kita. Temukanlah tipe kebiasaan yang keliru yang selagi ini telah kami lakukan dan menyebabkan anak kami berperilaku seperti ini.
29. Menunda alias mengabolisi hukuman
Kita semua tahu bahaya yang menarik dari merokok, mulai dari kanker, impotensi, hingga gangguan kehamilan dan janin. Tapi mengapa tetap tidak sedikit yang tidak peduli dan tetap membandel untuk terus menjadi pakar hisap? Jelas sebab akibat dari rokok itu terjadi kemudian dan bukan seketika itu juga.
Begitu juga dengan anak kita. Apabila kamu menjanapabilan sebuah konsekuensi hukuman alias sanksi bila anak berperilaku kurang baik, jangan menantikan waktu yang terlalu lama, menunda, alias bahkan mengabolisi sebab argumen lupa alias kasihan.
Bila telah terjadi kesepakatan antara kami dan anak seperti tidak boleh minta minta dibelikan permen alias mainan dan nyatanya anak mencoba coba untuk merengek, kami ingatkan kembali pada kepadanya mengenai kesepakatan yang kami buat bersama. Anak biasanya bakal berhenti merengek. Tetapi sayangnya ketika anak berhenti merengek , kami berpendapat persoalan susah berakhir dan akhirnya kami menunda alias bahkan mengabolisi hukuman entah sebab lupa alias kasihan. Apa akibatnya? Anak bakal mempunya asumsi bahwa kami hanya omong doang, maka mereka bakal mempunya tendensi untuk melanggar kesepakatan sebab hukuman tidak dilaksanakan.
Apa yang sebaiknya kami lakukan?
Jila kami telah mempunyai kesepakatan dan anak melanggarnya, maka sanksi wajib dilaksanakan, apabila kami kasihan, kami bisa mengurangi sanksinya, dan usahakan hukumanya jangan bersifat fisik, tapi seperti pengurangan bobot kesukaan mereka seperti jam bermain, melihat tv, ataupun bermain video game.
30. Terpancing Emosi
Apabila ada keinginannya yang tidak terpenuhi anak tidak jarang kali rewel alias merengak, menangis, berguling dsb, dengan tujuan memancing emosi kami yang pada akhirnya kami marah alias malah mengalah. Apabila kami terpancing oleh emosi anak, anak bakal merasa menang, dan merasa bisa megendalikan orang tuanya. Anak bakal terus berusaha mengulanginya pada peluang lain dengan pancingan emosi yang lebih besar la gi.
Apa yang sewajibnya kami lakukan?
Yang paling baik adalah diam, tidak bicara, dan tidak menanggapi. Jangan pedulikan ulah anak kita. Bila anak menangis katakan padanya bahwa tangisannya tidak bakal merubah keputusan kita. Bila anak tidak menangis tapi tetap berulah, kami katakan saja bahwa kami bakal mempertimbangkan keputusan kami dengan catatan si anak tidak berulah lagi. Seusai pernyataan itu kami keluarkan, lakukan aksi diam. Lumayan tatap dengan mata pada anak kami yang berulah, hingga ia berhenti berulah, Bila proses ini membutuhkan waktu lebih dari 30 menit tabahlah untuk melakukannya. Dalam proses ini kami jangan malu pada orang yang memperhatikan kita; dan jangan pula ada orang lain yang berusaha menolong anak kami yang sedang berulah tadi… SEKALI KITA BERHASIL MEMBUAT ANAK KITA MENGALAH, MAKA SELANJUTNYA DIA TIDAK AKAN MENGULANGI UNTUK YANG KEDUA KALINYA.
31. Menghukum Anak Saat Kami Marah
Hal yang butuh kami perhatikan dan rutin ingat adalah jangan sempat memberbagi sanksi alias hukuman apa pun pada anak ketika emosi kami sedang memuncak. Pada saat emosi kami sedang tinggi, apa pun yang keluar dari mulut kita, baik dalam bentuk kata2 maupun hukuman bakal cenderung menyakiti dan menghakimi dan tidak menjadikan anak lebih baik. Kejadin tersebut bakal mengecap walau ia telah beranjak dewasa. Anak juga bisa mendendam pada orang tuanya sebab tidak jarang memperoleh perlakuan di luar batas.
Apa yang sebaiknya kami lakukan?
Bila kami sedang sangat marah segeralah menjauh dari anak. Pilihlah tutorial yang cocok untuk bisa menurunkan amarah kami dengan segera.
Saat marah kami cenderung memberbagi hukuman yang seberat2ya pada anak kita, dan hanya bakal memunculkan perlawanan baru yang lebih kuat dari anak kita, sementara tujuan pemberian sanksi adalah untuk menyadarkan anak supaya ia memahami perilaku kurang baiknya. Seusai emosi reda, barulah kami memberbagi hukuman yang mendidik dan cocok dengan konteks kesalahan yang dilakukan. Ingat, prinsip hukuman adalah untuk mendidik bukan menyakiti. Pilihlah bentuk sanksi alias hukuman yang mengurangi aktivitas yang disukainya, seperti mengurangi waktu main game, alias bermain sepeda.
32. Mengejek
Orang tua yang biasa menggoda anaknya, tidak jarangkali dengan cara tidak sadar telah membikin anak menjadi kesal. Dan ketika anak memohon terhadap kami untuk tidak menggodanya, kami malah terus bahagia telah sukses membikinnya kesal alias malu. Faktor ini bakal membangun ketidaksukaan anak pada kami dan yang tidak jarang terjadi anak tidak menghargai kami lagi. Mengapa? Sebab ia berpendapat kami juga seperti kawan2nya yang suka menggodanya,
Apa yang sewajibnya kami lakukan?
Apabila ingin bercanda dengan anak kita, pilihlan materi bercanda yang tidak membikinnya malu alias yang merendahkan dirinya. Bakal jauh lebih baik apabila seakan-akan kitalah yang jadi badut untuk ditertawakan. Anak kami tetap aka n menghormati kami setelah agenda canda berakhir. Jagalah batas2 dan hindari bercanda yang bisa membikin anak kesal apalagi malu. Bagimana caranya? Lihat ekspresi anak kita. Apakah kesal dan meminta kami segera menghentikannya? Bila ya, segeralah hentikan dan apabila butuh meminta maaflah ayas kejadian yang baru terjadi. Katakan bahwa kami tidak bermaksud merendahkannya dan kami berjanji tidak bakal mengulanginya lagi.
33. Menyindir
Terkadang sebab saking marahnya orang tua tidak jarang mengungkapkannya dengan kata2 pendek yang pedas dengan maksud menyindir, seperti, “Tumben hari gini telah pulang”, alias “Tidak jarang2 aja pulang malem!” atau”Terbukti kamu pikir Mama/Papa in satpam yang jaga pintu tiap malam?”.
Kebiasaan ini tidak bakal membikin anak kami menyadari bakal perilaku kurang baiknya tapi malah sebaliknya bakal mebuat ia terus menjadi-jadi dan menjaga jarak dengan kita. Kami telah menyakiti hatinya dan membikinnya tidak ingin berkomunikasi dengan kita.
Apa yang sebaiknya kami lakukan?
Katakanlah dengan cara langsung apa yang kami inginkan dengan kalimat yang tidak menyinggung perasaan, memojokkan bahkan menyakiti hatinya. Katakan saja, “Sayang, Papa/Mama khawatir bakal keselamatan kamu lho kalo kamu pulang terlalu malam”. Dan sejenisnya.
34. Memberi julukan yang kurang baik
Kebiasaan memberbagi julukan yang kurang baik pada anak bisa mengakibatkan rasa rendah diri, tidak percaya diri/mimder, kebencian juga perlawanan. Adakalanya anak ingin membuktikan kehebatan julukan alias gelar tersebut pada orang tuanya.
Solusinya
Mengganti julukan kurang baik dengan yang baik, seperti, anak baik, anak hebat, anak bijaksana. Apabila tidak bisa menemukannya lumayan dengan panggil dengan nama kesukaannya saja.
35. Mengumpan Anak yang Rewel
Pada saat anak marah, merengek alias menangis, meminta sesuatu de ngan memaksa, kami biasanya mengalihkan perhatiannya terhadap faktor alias barang lain. Faktor ini dimaksudkan supaya anak tidak merengek lagi. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya, rengekan anak terus menjadi-jadi. Contohnya, anak menangis sebab ia minta dibelikan mainan, Kemusian kami berusaha membikinnya diam dengan berusaha mengalihkan perhatiannya seperi, ” Tuh lihat tuh ada kakak pake baju warna apa tuh…”atau” Lihat ini lihat, foto apa ya lucu banget?”
Ingatlah rutin, pada saat anak kami sedang fokus pada apa yang diharapkannya, ia bakal memancing emosi kami dan emosinya sendiri bakal menjadi sensitif. Anak kami pada umumnya adalah anak yang cerdas. ia tidak ingin diakihkan ke faktor lain apabila persoalan ini belum ada kata sepakat penyelesaiannya. Terus kami berusaha mengalihkan ke faktor lain, terus marah lah anak kita.
Apa yang sebaiknya dilakukan?
Berakhirkan apa yang diharapkan oleh anak kami dengan menuturkannya dan membikin kesepakatan di tempat, apabila kami belum sempat membikin kesepakatan di rumah. Katakan dengan cara langsung apa yang kami inginkan terhadap permintaan anak tesebut, seperti “Papa/Mama belum bisa membelikan mainan itu saat ini. Apabila kamu mau wajib menabung lebih dahulu. Kelak Papa/Mama ajari tutorial menabung. Bila kamu terus merengak kami tidak jadi jalan-jalan dan langsung pulang.” Apabila kalimat ini yang kami katakan dan anak kami tetap merengek, segeralah kami pulang walau urusan belanja belum berakhir, Untuk urusan belanja kami tetap bisa menundanya. Tapi jangan sekali-kali menunda dalam mendidik anak.
36. Televisi sebagai penyuplai Pendidikan Anak
Perilaku anak terbentuk sebab 4 hal:
Berdasar terhadap siapa yang lebih dulu mengajarkan kepadanya: kami alias TV?
Oleh siapa yang dirinya percaya: apakah anak percaya pada kata2 kami alias kecocokan wakyu program2 TV?
Oleh siapa yang meyampaikannya lebih menyenangkan: apakah kami menasehatinya dengan tutorial membahagiakan alias program2 TV yang lebih menyenangkan?
Oleh siapa yang tidak jarang menemaninya: kami alias TV?
Apa yang sewajibnya kami lakukan?
Bangun komunikasi dan kedekatan dengan mengevaluasi 4 faktor tersebut yang menjadi faktor pembentuk Lagu perilaku anak kita.
Menggantinya dengan kegiatan di rumah alias di luar rumah yang padat bagi anak2nya.
Gantilah program TV dengan film2 pengetahuan yang lebih mendidik dan menantang mulai dari kartun hingga CD dalam bentuk permainan edukatif.
37. Mengajari Anak untuk Membalas
Sebagian anak ada yang mempunyai kecenderungan suka memukul dan sebagian lagi menjadi objek penderita dengan lebih tidak sedikit menerima pukulan dari rekan sebayanya. Sebagian orang tua biasanya tidak sabar melihat anak kami disakiti dan memprovokasi anak kami unutuk membalasnya. Faktor ini dengan cara tidak langsung mengajari anak balas dendam. Sebab pada saat itu emosi anak sedang sensitif dan apa yang kami ajarkan saat itu bakal membekas. Jangan kaget bila anak kami tidak jarang membalas alias membalikkan apa yang kami hinggakan kepadanya.
Apa yang sebaiknya kami lakukan?:
Mengajarkan anak untuk menghindari kawan-kawan yang suka menyakiti.
Memberi tau pada orang tua yang bersangkutan bahwa anak kami tidak jarang mendapat perlakuan kurang baik dari anaknya.
Ajaklah orang tua anak yang suka memukul untuk mengikuti program parenting baik di radio alias media lainnya.
Genericionamink Blog
Senin, 01 Januari 2018
Ini Dia Ciri-ciri Istri Durhaka
JADI wanita sholehah itu mudah. Tapi sehingga wanita durhaka juga mudah. Dua kemudahan ini, dapat sehingga terasa begitu tipis dalam kenasiban kami sehari-hari. Apa yang membikin seorang wanita sehingga durhaka?
Tidak sedikit Saldo Gojek Via Paypal keluh kesah
Yang rutin merasa tidak cukup, apa yang diberi semua tidak cukup. Diberi rumah tidak cukup, diberi motor tidak cukup, diberi mobil tidak cukup, serta lainnya. Tidak ridha dengan pembelaan serta aturan yang diberbagi suami. Hanya ingin memenuhi kehendak nafsu saja, tanpa memperhatikan perasaan suami, tidak hormat terhadap suami apalagi berterima
kasih pada suami. Bukannya hendak membantu suami, apa yang suami beri pun tidak sempat puas. Ada saja yang tidak cukup.
Suka mengungkit
Kalau suami meperbuat faktor yang tidak berkenan untuknya, maka diungkitlah segala faktor mengenai suaminya itu. Ia sangat bahagia menuturkan suami: tidak ingat budi, tidak bertanggung jawab, tidak sayang, serta macam-macam. Padahal suaminya telah memberi perlindungan macam-macam padanya.
Membandingkan-bandingkan suami
Sangat suka membanding-bandingkan suaminya dengan suami alias lelaki lain. Ia tidak ridha dengan suaminya sendiri.
Suka memaksa
Bila mengharapkan sesuatu maka dipaksa suaminya meperbuat. Pagi, petang malam asyik menekan serta memaksa suami. Adakalanya dengan beberapa ancaman: ingin lari, ingin bunuh diri, ingin membikin malu suami, serta lainnya. Suami dibangun semacam budaknya, bukan sebagai pemimpinnya. Yang dipentingkan merupakan kehendak serta kepentingan dirinya saja.
Sibuk bersolek
Sibuk bersolek alias tidur alias santai-santai serta lain-lain sampai lalai dengan ibadah-ibadah terhadap Allah SWT, semacam shalat, zikir, mengurus rumah-tangga, berkasih sayang dengan anak-anak, serta lain sebagainya.
Tidak sedikit berbicara, menggosip
Siang malam, pagi petang asik menggosip semakin. Apa saja yang suami kerjakan rutin tidak benar Saldo Grab Murah di matanya. Serta zaman kini ini bergosip bukan saja berkata di depan suami, tapi dengan telefon, SMS, internet, BBM serta macam-macam tutorial yang lain. Naudzubillah! []
Langganan:
Postingan (Atom)